BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Diagnosis
suatu penyakit dapat ditegakan berdasarkan gejala klinik yang ditemukan,
terutama sekali bagi penyakit yang memiliki gejala klinik spesifik. Diagnosis
demikian dikenal sebagai diagnosis klinik.
Akan tetapi, bagi penyakit yang tidak memiliki gejala klinik khas, untuk menegakkan diagnosisnya kadang-kadang diperlukan pemeriksaan laboratorium. Diagnosisnya dinamakan diagnosis laboratorium. Dalam mendiagnosis penyakit yang disebabkan oleh parasit, banyak cara yang harus dilakukan. Kebanyakan penyakit yang disebabkan oleh parasit tidak memiliki gejala klinik spesifik sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan parasit tersebut secara mikroskopis dari bahan pemeriksaan. Diagnosis laboratorium ini merupakan diagnosis pasti. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan laboratorium ini, di samping pemilihan bahan pemeriksaan juga memilih teknik pemeriksaan harus tepat (Natadisastra D, dkk 1996).
Akan tetapi, bagi penyakit yang tidak memiliki gejala klinik khas, untuk menegakkan diagnosisnya kadang-kadang diperlukan pemeriksaan laboratorium. Diagnosisnya dinamakan diagnosis laboratorium. Dalam mendiagnosis penyakit yang disebabkan oleh parasit, banyak cara yang harus dilakukan. Kebanyakan penyakit yang disebabkan oleh parasit tidak memiliki gejala klinik spesifik sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan parasit tersebut secara mikroskopis dari bahan pemeriksaan. Diagnosis laboratorium ini merupakan diagnosis pasti. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan laboratorium ini, di samping pemilihan bahan pemeriksaan juga memilih teknik pemeriksaan harus tepat (Natadisastra D, dkk 1996).
Ada
beberapa enyakit parasit yang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinik khas
yang dipunyai oleh penyakit parasit yang ditimbulkannya, misalnya steatorhoe
pada penderita Giardiasis, leucorhoe disebabkan oleh Trichomonas vaginalis,
double daily rise merupakan kurva suhu tubuh yang khas, pada setiap hari ada
dua puncak demam, gejala ini ditemukan pada infeksi oleh Leishmania donovani.
Lain halnya demam yang ditemukan pada penyakit malaria, demam muncul dengan
selang waktu tertentu tergantung psecies Plasmodium penyebabnya, serta kurva
suhu tubuhnya juga spesifik. Disamping adanya gejala khas tertentu yang
dipunyai oleh species tertentu, ada juga gejala yang dapat disebabkan oleh
beberapa species, misalnya gejala panas, gangguan gastrointestinal, gangguan
sistem pernapasan, sistem saraf, gangguan pada masa ataupun pada kulit dan lain
sebagainya. Dalam kasus-kasus ini dapat ditegakan diferensial diagnosis
sehingga untuk menegakkan diagnosisnya diperlukan pemeriksaan laboratorium
(Natadisastra D, dkk 1996).
Akhir-akhir
ini dikembangkan diagnosis dengan pemeriksaan serologi dan dikenal sebagai
immunodiagnosis yang sangat berguna bagi parasit yang tidak memiliki gejala
klinik spesifik serta susah untuk menemukan parasitnya (diagnosis laboratorium)
(Natadisastra D, dkk 1996).
B.
Tujuan
BAB
2
PEMBAHASAN
A.
Diagnosis
Klinik
Gejala
yang dapat disebabkan oleh penyakit parasti diantaranya dibahas gejala pans,
gangguan gastrointestinal, gangguan sistem pernapasan, sistem saraf, gangguan
pada mata ataupun pada kulit.
1.
Penyakit parasitik yang dapat
menimbulkan gejala panas
a)
Malaria
b)
Tryapanosomiasis Afrika
c)
Tryapanosomiasis Amerika
d) Schistosomiasis
e)
Leishmaniasis visceral
f)
Filariasis
g)
Angyostrongiliasis
h)
Amebiasis
i)
Toxoplasmosis
j)
Visceral larva migrans
k)
Trchinellosis
l)
Infeksi oleh Pneumocystis carinii
2.
Penyakit
parasitik yang disertai dengan gangguan gastrointestinal
Diare
adalah merupakan gejala penting yang disebabkan infeksi oleh protozoa usus.
Diare pada Amebiasis sangat khas, tinjanya banyak dan bau yang menusuk hidung,
biasanya ada darah dan gejala kronis.pada penderita Giardiasis, tinja banyaj
dan mengandung lemak. Diare yang cair biasanya ditemukan pada penderita yang
terinfeksi Crystosporodia atau Isospora meskipun sebebnarnya penyakitnya
bersifat self limiting, tapi pada beberapa pasien dengan immunocompromised
diare dapat ditemukan.
Kebanyakan
infeksi oleh cacing menimbulkan gejala gastrointestinal yang minimal, kecuali
jika jumlah cacingnya banyak, kolik abdomen dapat ditemukan. Hal yang aneh pada Toxocariasis, nyeri abdominal umumnya
dapat ditemukan, padahal stadium dewasanya dari parasit ini tidak ditemukan
dalam usus manusia. Cacing pita jarang memberikan gejala klinis yang jelas,
tapi riwayat dari pasien bahwa adanya segmen yang berbentuk seperti pita keluar
bersama tinja atau ada yang bergerak di daerah perianal. Dibawah ini parasit-parasit
yang dapat memberikan gejala diare pada penyakit yang ditimbulkannya. Diare
dengan disertai gejala panas adalah sebagai berikut :
a)
Entamoeba
histolytica
b)
Cryptosporidium
B.
Teknik
Pemeriksaan Cacing Parasit
Sebelum
melakukan pemeriksaan terlebih dahulu harus diketahui habitat dari parasit
cacing atau bahan pemeriksaan yang akan diperiksa. Disini akan diuraikan
pemeriksaan yang penting dari bahan pemeriksaan tinja dan darah yaitu
pemeriksaan telur cacing dari tinja, pemeriksaan larva cacing, pemeriksaan
cacing dewasa, penyimpanan, pengawetan telur dan cacing dewasa dalam tinja,
preparat permanen, pembuatan larutan serta pemeriksaan darah tepi untuk
mikrofilaria (Beaver, P.C., Yung. R.C., Cupp. E. W. 1984).
Pemeriksaan telur-telur cacing dari tinja terdiri
dari dua macam cara pemeriksaan, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif.
Pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode natif, metode apung,
dan metode harada mori. Sedangkan pemeriksaan kuantitatif dilakukan dengan
menggunakan metode kato. Berikut adalah prinsip kerja dari berbagai metode
pemeriksaan parasit pada feses (Beaver, P.C., Yung. R.C., Cupp. E.
W. 1984).
1.
Metode natif (Direct slide)
Metode ini
dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat,
tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara
pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%.
Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing
dengan kotoran disekitarnya. Eosin memberikan latar belakang merah terhadap
telur yang berwarna kekuning-kuningan dan untuk lebih jelas memisahkan feces
dengan kotoran yang ada. Kekurangan dari metode ini adalah hanya dilakukan
untuk infeksi berat, infeksi ringan sulit terditeksi. Kelebihann meotde ini
adalah mudah dan cepat dalam pemeriksaan telur cacing semua spesies, biaya yang
di perlukan sedikit, peralatan yang di gunakan sedikit (Soejoto dan Soebari, 1996).
2.
Metode Apung (Flotation method)
Metode ini digunakan
larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan
atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati.
Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur.
Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan, sehingga
telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel-partikel
yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk
telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori
dari famili Taenidae, telur-telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang
infertil. Kekurangan dari metode ini adalah penggunaan feses banyak dan
memerlukan waktu yang lama, perlu ketelitian tinggi agar telur di permukaan
larutan tidak turun lagi. Kelebihan dari metode ini adalah dapat di gunakan
untuk infeksi ringan dan berat, telur dapat terlihat jelas. Dalam praktikum
pemeriksaan feses ini, metode apung yang kami gunakan sebagai acuan yang
terdiri dari sentrifugasi dan disentrifugasi.
a)
Sentrifugasi
1)
100 ml NaCl jenuh (33%) dimasukan kedalam beker
glass.
2)
10 gram feses sampel pertama diambil
menggunakan lidi dan dimasukan kedalam larutan NaCl jenuh (33%) kemudian di
aduk sehingga larut.
3)
Bila terdapat serat-serat selulosa di saring
menggunakan penyaring teh.
4)
Hasil saringan dituangkan ke dalam tabung
reaksi sampai pada permukaan tabung reaksi.
5)
Di sentrifugasi selama 10 menit.
6)
Permukaan sampel pada tabung reaksi di ambil
dengan menggunakan jarum ose secara swab dan di oleskan pada objek glass,
kemudian di tutup dengan menggunakan cover glass.
7)
Di amati di bawah mikroskop.
b)
Tanpa Sentrifugasi
1)
100 ml NaCl jenuh (33%) dimasukan kedalam beker
glass.
2)
10 gram feses sampel kedua diambil menggunakan
lidi dan dimasukan kedalam larutan NaCl jenuh (33%) kemudian di aduk sehingga
larut.
3)
Bila terdapat serat-serat selulosa di saring
menggunakan penyaring teh.
4)
Hasil saringan dituangkan ke dalam tabung
reaksi sampai cembung pada permukaan tabung reaksi.
5)
Didiamkan selama 5-10 menit dan ditutup dengan
cover glass dan segera angkat.
6)
Di letakkan di atas objek glass preparat dengan
cairan berada di antara objek glass dan cover glass, kemudian di periksa di
bawah mikroskop. Selanjutnya cara kerja tersebut di ulang pada sampel feses
ketiga.
(Soejoto dan Soebari, 1996).
3.
Metode Harada Mori
Metode ini digunakan
untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma Duodenale,
Necator Americanus, Srongyloides Stercolaris dan Trichostronngilus yang
didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknin ini memungkinkan telur cacing
dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama kurang
lebih 7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan didalam air yang terdapat pada
ujung kantong plastik. Kekurangan dari metode ini adalah hanya dilakukan untuk
identifikasi infeksi cacing tambang, waktu yang dibutuhkan lama dan memerlukan
peralatan yang banyak. Kelebihan dari metode ini adalah lebih mudah dilakukan
karena hanya untuk mengidentifikasi larva infektif mengingat bentuk larva jauh
lebih besar dibandingkan dengan telur.
Bahan yang diperlukan adalah kantong plastic dengan
ujung sempit dan tertutup, berukuran 17 x 3 cm, kertas saring dengan ujung
runcing berukuran 15 x 2,5 cm, air bersih, api lilin, lidi, dan bahan
pemeriksaan tinja.
Teknik
pemeriksaan :
a)
Oleskan sejumla tinja pada bagian tengah
kertas saring.
b)
Masukkan kertas saring yang sudah dioles
tinja ke dalam kantong plastic dengan ujung runcing lebih dahulu sehingga ujung
runcing kertas saring masuk ke bagian sempit kertas saring menjadi basah dan
air akan tertampung.
c)
Kemudian disiram air ledeng sihingga
cacing tertinggal dalam saringan.
d)
Hasil saringan ditampung dalam suatu
bejana kaca yang melebar( petridish besar) dan dilarutkan dengan air.
e)
Pemeriksaan dilakukan dengan kaca
pembesar (loupe) dan dilakukan pada dasar meja yang hitam warnanya.
f)
Perhitungan cara mudah dapat dilakukan
dengan meberi garis- garis yang sejajar pada dasar bejana.
g)
Untuk mendeterminai cacing dilakukan di
bawah mikroskop.
(Soejoto dan Soebari,
1996).
4.
Metode Kato
Teknik sediaan tebal
(cellaphane covered thick smear tecnique) atau disebut teknik Kato. Metode ini
digunakan untuk menemukan adanya telur cacing parasit dan menghitung jumlah
telur cacing yang terdapat pada feses. Pengganti kaca tutup seperti teknik
digunakan sepotong “cellahane tape”. Teknik ini lebih banyak telur cacing dapat
diperiksa sebab digunakan lebih banyak tinja. Teknik ini dianjurkan untuk
Pemeriksaan secara massal karena lebih sederhana dan murah. Morfologi telur
cacing cukup jelas untuk membuat diagnosa. Pada metode ini diadakan penambahan
melachite green untuk memberi latar belakang hijau. Anak-anak mengeluarkan
tinja kurang lebih 100 gram/hari, dewasa mengeluarkan tinja kurang lebih 150
gram/hari. Jadi, misalnya dalam 1 gram feces mengandung 100 telur maka 150 gram
tinja mengandung 150.000 telur. Kekurangan dari metode ini adalah bahan feses
yang digunakan banyak. Kelebihan dari metode ini adalah dapat mengidentifikasi
tingkat cacing pada penderita berdasar jumlah telur dan cacing, baik di
kerjakan di lapangan, dapat digunakan untuk pemeriksaan tinja masal karena
murah dan sederhana, cukup jelas untuk melihat morfologi sehingga dapat
didiagnosis.
Perbandingan cacing
jantan dan betina biasanya 1:2 sehingga kita dapat menghitung jumlah cacing
dalam usus penderita tersebut. Beratnya penyakit cacing berdasarkan jumlah
cacing dalam tubuh seseorang atau jumlah telur pada tiap gram tinja dari hasil
pemeriksaan dengan metode Stoll dapat dilihat dari daftar di bawah ini.
Pemeriksaan telur cacing kuantitatif
dengan metode Kato Katz. Alat dan bahan yang diperlukan yaitu gelas benda,
selotip dengan tebal 40 mm, ukuran 3x3 cm, kawat kasa dengan ukuran lubang
tertentu dipotng dengan ukuran 3x3 cm, karton yang tebal diberi lubang dengan
volume tertentu sehingga tinja yang dicetak dengan karton tersebut dapat
diketahui beratnya, lidi dan kertas minyak, larutan Malachitegreen yang terdiri
dari : 100 ml gliserin ditambah 100 ml aquadest ditambah 1 ml Malachitegreen 3%
(Soejoto dan Soebari, 1996).
C.
Teknik
pemeriksaan protozoa
Teknik pemeriksaan protozoa parasitik
ini dibahas beberapa pemeriksaan, yaitu (1) Metode pemeriksaan protozoa usus,
terdiri atas pemeriksaan secara natif dan modifikasi metode Mertiolak-Iodine
Formaldehide (MIF). (2) Metode pemeriksaan protozoa darah terdiri atas preparat
atau sedian darah apus dengan pewarnaan Giesna dan preparat (tetes) darah tebal
dengan pewarnaan Giesna . (3) Metode pemeriksaan protozoa cacing Trichomonas vaginalis. (4) Cara pembuatan preparat permanen (fixsed preparation) untuk parasit darah,
Trichomonas vaginalis, dan amoeba
,dengan pewarnaan menurut metode Heidenhein. (5) Pembuatan larutan-larutan (Smyth, 1996).
Pemeriksaan protozoa usus secara natif.
Kegunaannya untuk melakukan pemeriksaan secara cepat. Untuk tropozoit dari
amoeba, dipergunakan larutan eosin 2% , sedangkan untuk inti dan untuk kista
amoeba dengan laturan lugol ( 2% larutan Iodium+ 3% larutan Iodkali).
Cara kerja:
1. Dengan
sebuah lidi,kita ambil feses (tinja) sebesar biji kacang polong yang ditaruh
diatas gelas objek yang bersih.
2. Bubuhi
larutan NaCl fisiologis atau larutan eosin 2% atau lugol diatasnya.
3. Dengan
lidi tadi kita ratakan dahulu sebelum diberi gelas penutup.
4. Periksa
dibawah gelas mikroscop
(Smyth, 1996).
Pemeriksaan protozoa secara modifikasi
mertiola-formaldehid (MIF). Baik sekali dipakai untuk mendiaknosa secara klinis
adanya Amuba dan Lamblia didalam tinja. Zat zat yang dipergunakan larutan dasar
(1) 250 ml aquades, 20 ml Tincture of merthiolet (Thimerosal), 25 ml
formaldehid dan 5 ml gliserin. Larutan dasar (2) larutan lugol 5 % yang segar (
tidak boleh dsimpan lama lebih dari 3 minggu). Kedua larutan tersebut disimpan
dalam botol yang berwarna cokelat ( Natadisastra, 1996).
Cara kerja :
1. 5
ml larutan dasar ditambah dengan 5ml larutan lugol ,kemudian 0,5 gr tinja
dimasukan ke dalamnya lalu diaduk. Setelah diaduk sampai homogen , disaring
dengan 2 lapis kain gas ke dalam tabung sentrifuge.
2. Ditambah
dengan 7 ml eter ( temperatur 5 ̊C)
3. Tabung
tersebut ditutup rapat dengan sumbat karet dan dikocok keras-keras, sampai
campuran benar-benar homogen. Sumbat di buka dan dbiarkan selama 2 menit.
Kemudian di sentrifusi selama 1 menit dengan kecepatan 1500-3000 putaran
permenit. Cairan semua dibuang dan endapan dibuang dengan pipet ,ditaruh diatas
gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup. Hasilnya dapat dilihat dengan
mikroskop. Pada endapan
4. Preparat
diberdirikan dan dibiarkan kering ,dijaga jangan kena debu atau dimakan insek
dan lain-lain.
( Natadisastra,
1996).
Cara Pewarnaan :
1. Sedian
apus yang telah kering difiksir dngan metil alkohol selama 3-5 menit ( etil
alkohol selama 10 menit) kemudian :
2. Warnai
dengan larutan standart giemsa selama
kurang lebih 45 menit ( 1 tetes larutan standart Giemsa+ 1 ml Akuades atau 1ml
larutan Buffer). Mula-mula larutan Giemsa( standart) dituangkan kedalam gelas
ukur ,kemudian baru ditambahkan dengan larutan Buffer atau Akuades.
3. Preparat
dicuci dengan air ledeng/ air mengalir secara perlahan.
4. Keringkan
dan dijaga jangan sampai kena debu atau dimakan insek dan lain-lain
5. Periksa
dengan mikroscop ( perbesaran 100x)
(
Natadisastra,1996).
Hasilnya dengan pH larutan Buffer/
akuades 7,2 kromatin terlihat merah tua terang, sitoplasma berwarna biru sampai
biru violet.
Pemeriksaan protozoa darah, sediaan tetes darah
tebal dengan pewarnaan Giemsa. Kegunaan,untuk pemeriksaan parasit protozoa yang
hidup dalam darah secara cepat, karena volume darah yang diambil banyak
sehingga kemungkinan mendapatkan diagnosis dari parasit lebih cepat, tertama
pada organisme hidup yang bertindak sebagai carier atau pembawa penyakit
misalnya plasmodium, babesia dan lain-lain. Prinsip pewarnaan Giemsa adalah
mewarnai seluruh sel-sel darah dan sel-sel parasit dalam sel darah merah .
untuk mempermudah identifikasi jenisjenis parasit darah berdasarkan morfologi
menurut literature
(Solihat,
Lilis. 2002)
Cara kerja :
1. Metode
pengambilan darah sama dengan pembuatan
sediaan darah apus .
2. Setetes
atau 2 tetes darah diteteskan pada sebuah gelas objek yang bersih.
3. Tetes darah dilebarkan hingga membentuk lingkaran
dengan diameter 1-1,5 cm. Preparat harus cukup tipis sampai transparan
4. Dibiarkan
kering sama sekali,karena pada setetes yang tidak melekat pada gelas objek akan
mudah terlepas pada pewarnaan berikutnya. Dijaga jangan sampai kena debu atau
insek dan lain-lain.
(Barh,1991).
Pemeriksaan Trichomonas vaginalis. Biasanya dengan sedian basah atau
kadang-kadang diwarnai juga . Sampel terbaik didapat dengan melalui vaginal
spikulum mempergunakan lidi yang berkapas. Lidi tersebut ditempatkan pada suatu
tabung reaksi gelas yang berisi 5% glukosa dalam cairan garam physiologis
sebelum penelitian. Organisme itu tampak membulat dan sedikit bergerak dibawah
mikroscop . pemeriksaan dapat dari secret uretra pada wanita dapat memberikan
hasil yang positif jika organisme-organisme tidak didapatkan dalam secret
wanita tersebut. Pada laki-laki didiagnosis dilakukan dengan cara pemeriksaan
secret uretra, secret prostat atau urine yang disentrifusi ( Natadisastra,1996)
Metode kultur dapat diperlukan,
kadang-kadang akan menambah presentasi hasil yang positif. Cara pembuatan
preparat permanen ( fixed preparation )
pada parasit darah. ( lihat pada pemeriksaan protozoa darah diatas, sesudah
diwarnai kemudian diberi Canada Balsem dan ditutup dengan cover glass).
Cara
pembuatan preparat permanen (fixed preparat)
,pada Trichomonas vaginalis.
1. Fiksasi
dari Trichomonas vaginalis langsung
dalam kultur( pembenihan), 6 tetes OSO4 (2%) diberikan dalam 5ml
medium selama 30 menit.
2. Periksa
dengan mikroscop apakah masih ada parasit. Trichomonas
yang hidup , jika perlu penambahan dengan OSO4.
3. Disentrifusi
( 3000 U, selama 5-10 menit)
4. Cuci
endapan dengan larutan Ringer 2-3 kali
5. Resuspensi
dari endapan terakhir dalam 1-1,5 ml larutan Ringerr, bubuhi 1-2 tetes serum
darah.
6. Ambil
satu tetes diatas gelas objek , kemudian dibuat sedian apus yang tidak terlalu
tipis dan biarkan mengalir.
7. Fiksasi
dengan metanol selama 5-10 menit
8. Diwarnai
dengan Giemsa selama 10-20 menit. ( perbandingan satu tetes larutan standart
Giemsa dengan 2 ml larutan Buffer pH 7,2 )
9. Cuci
dengan cepat kemudian biarkan mengering
10. Tutup
dengan Canada balsem dan gelas penutup (cover glass)
( Natadisastra,1996).
Cara
pembuatan preparat permanen (fixed
preparation) pada amoeba dengan perawatan menurut metode Heidenhein.
1. Sediaan
apus diatas glass objek atau pada 3-4 gelas penutup ( cover glass), sementara
masih basah difiksasi dengan sublimat alkohol selama 20 menit.
2. Kemudian
dalam larutan iodin alkohol ( 70% alkohol dan Tincture Iodin atau larutan lugol
sampai berwarna seperti brandi) selama 30 menit.
3. Dalam
alkohol 70 % selama 1 menit.
4. Cuci
dengan air
5. “
Mordenting” dalam larutan 4% amonium feric alum (kristal violet dilarutkan
dengan Akuades )
6. Cuci
dengan air
7. Diwarnai
dengan Heidenhein’s haemotoxylin ( 1 gr, haemotoxylin dalam 10 ml 96% alkohol
dan 90 ml akuades; Larutan ini harus “contact” dengan udara hingga masak selama
sedikit-dikitnya 4 minggu)
8. Cuci
dengan air
9. Diberikan
preparat dengan jalan mencuci dalam larutan 2% amonium ferric alum 1 sampai 4
menit
10. Cuci
dengan air ledeng sedikit-dikitnya ½ jam.
11. Setelah
memulai suatu seri dari alkohol, xylol kemudian preparat “ dimounting” dengan canada balsem dan gelas
penutup
(
Natadisastra,1996).
Diagnosa untuk protozoa Plasmodium vivax yang dapat menyebabkan penyakit malaria sebagian
besar menggunakan asas imunokromatografi yang menggunakan antibodi monoklonal
yaitu HRP-2 (Histidine Rich Protein) untuk Plasmodium falciparum
dan pLDH (parasite Lactate Dehydrogenase) untuk
mengetahui Plasmodium vivax sebagai indikator infeksi. Metode imunokromatografi
yang digunakan berdasarkan asas pemeriksaan imunologis. Pemeriksaan metode imunokromatografi dilakukan di
Laboratorium Hepatika. Darah memakai sampel dari tabung mikro (micro tube)
yang berisi EDTA yang diambil 10 sampai 15 μl menggunakan mikropipet
dan diletakkan dalam lubang perangkat peralatan (kit),
hasil akan terlihat sekitar 10 sampai 15 menit kemudian dalam bentuk garis
berwarna merah muda. Garis yang paling atas (garis pertama) merupakan garis
kendali (kontrol). Garis dibawahnya (garis kedua) merupakan garis uji untuk Plasmodium
vivax. Garis yang terbawah (garis ketiga) adalah garis uji untuk Plasmodium
falciparum. Bila hasil uji untuk Plasmodium falciparum positif, maka
garis kendali (kontrol) dan garis uji terbawah akan berwarna merah muda,
sedangkan garis tengah tidak terlihat. Bila untuk Plasmodium vivax positif,
maka garis kendali (kontrol) dan garis uji kedua saja yang terlihat (Gambar 1).
Perangkat peralatan (kit), imunokromatografi laboratorium Hepatitis NTB menggunakan
anti HRP-2 untuk mengetahui antigen HRP-2 yang terdapat di Plasmodium
falciparum dan anti pLDH untuk mengetahui antigen pLDH yang terdapat
di Plasmodium vivax, dengan zat kromogen klorida emas (gold chloride)
yang memberikan warna merah muda. Hasil penelitian dijabarkan dalam tabel
tabulasi silang dengan perangkat lunak SPSS 11.0 antara hasil pemeriksaan
mikroskopis malaria dengan metode imunokromatografi. Penghitungan sensitivitas,
spesifisitas, nilai prediksi positif dan negatif dilakukan secara manual (Arum.
L Ima, dkk. 2006).
DAFTAR
PUSTAKA
Arum. L Ima, dkk. 2006. Uji diagnostik plasmodium malaria menggunakan metode Imunokromatografi
diperbandingkan dengan pemeriksaan Mikroskop. UNRAM. NTB
Barh
M. And Bell D.R,1991. Manson’s Tropical
diseases, 9th Edition. London : Bailliere Tindal
Beaver,
P.C., Yung. R.C., Cupp. E. W. 1984. Clinical
Parasitology. 9 Edition. Philadelpia: Lea & Febiger
Natadisastra
D, dkk 1996, Penuntun Praktikum ilmu
parasit (protozologi) untuk Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. FK.
Unpad: Bagian Parasitologi
Neva
F. A and Brown H. W. 1994. Basic Clinical
Parasitology, 6th Edition. Connecticur. Appleton and Lange
Smyht.
J. D. 1996. Anima Parasitology 3rd
Edition.
Cambridge University Press.
Solihat,
Lilis. 2002. Proses pemeriksaan sampel
penvakitpenyakit Parasit darah di laboratorium Parasitologi balitvet. Balai
Penelitian Veteriner. Bogor
0 comments:
Post a Comment