Thursday, November 21, 2013

Uji Laboratorium



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Diagnosis suatu penyakit dapat ditegakan berdasarkan gejala klinik yang ditemukan, terutama sekali bagi penyakit yang memiliki gejala klinik spesifik. Diagnosis demikian dikenal sebagai diagnosis klinik. 


Akan tetapi, bagi penyakit yang tidak memiliki gejala klinik khas, untuk menegakkan diagnosisnya kadang-kadang diperlukan pemeriksaan laboratorium. Diagnosisnya dinamakan diagnosis laboratorium. Dalam mendiagnosis penyakit yang disebabkan oleh parasit, banyak cara yang harus dilakukan. Kebanyakan penyakit yang disebabkan oleh parasit tidak memiliki gejala klinik spesifik sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan parasit tersebut secara mikroskopis dari bahan pemeriksaan. Diagnosis laboratorium ini merupakan diagnosis pasti. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan laboratorium ini, di samping pemilihan bahan pemeriksaan juga memilih teknik pemeriksaan harus tepat (Natadisastra D, dkk 1996).
Ada beberapa enyakit parasit yang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinik khas yang dipunyai oleh penyakit parasit yang ditimbulkannya, misalnya steatorhoe pada penderita Giardiasis, leucorhoe disebabkan oleh Trichomonas vaginalis, double daily rise merupakan kurva suhu tubuh yang khas, pada setiap hari ada dua puncak demam, gejala ini ditemukan pada infeksi oleh Leishmania donovani. Lain halnya demam yang ditemukan pada penyakit malaria, demam muncul dengan selang waktu tertentu tergantung psecies Plasmodium penyebabnya, serta kurva suhu tubuhnya juga spesifik. Disamping adanya gejala khas tertentu yang dipunyai oleh species tertentu, ada juga gejala yang dapat disebabkan oleh beberapa species, misalnya gejala panas, gangguan gastrointestinal, gangguan sistem pernapasan, sistem saraf, gangguan pada masa ataupun pada kulit dan lain sebagainya. Dalam kasus-kasus ini dapat ditegakan diferensial diagnosis sehingga untuk menegakkan diagnosisnya diperlukan pemeriksaan laboratorium (Natadisastra D, dkk 1996).
Akhir-akhir ini dikembangkan diagnosis dengan pemeriksaan serologi dan dikenal sebagai immunodiagnosis yang sangat berguna bagi parasit yang tidak memiliki gejala klinik spesifik serta susah untuk menemukan parasitnya (diagnosis laboratorium) (Natadisastra D, dkk 1996).

B.     Tujuan






















BAB 2
PEMBAHASAN
A.    Diagnosis Klinik
Gejala yang dapat disebabkan oleh penyakit parasti diantaranya dibahas gejala pans, gangguan gastrointestinal, gangguan sistem pernapasan, sistem saraf, gangguan pada mata ataupun pada kulit.
1.      Penyakit parasitik yang dapat menimbulkan gejala panas
a)        Malaria
b)        Tryapanosomiasis Afrika
c)        Tryapanosomiasis Amerika
d)       Schistosomiasis
e)        Leishmaniasis visceral
f)         Filariasis
g)        Angyostrongiliasis
h)        Amebiasis
i)          Toxoplasmosis
j)          Visceral larva migrans
k)        Trchinellosis
l)          Infeksi oleh Pneumocystis carinii

2.      Penyakit parasitik yang disertai dengan gangguan gastrointestinal
Diare adalah merupakan gejala penting yang disebabkan infeksi oleh protozoa usus. Diare pada Amebiasis sangat khas, tinjanya banyak dan bau yang menusuk hidung, biasanya ada darah dan gejala kronis.pada penderita Giardiasis, tinja banyaj dan mengandung lemak. Diare yang cair biasanya ditemukan pada penderita yang terinfeksi Crystosporodia atau Isospora meskipun sebebnarnya penyakitnya bersifat self limiting, tapi pada beberapa pasien dengan immunocompromised diare dapat ditemukan.
Kebanyakan infeksi oleh cacing menimbulkan gejala gastrointestinal yang minimal, kecuali jika jumlah cacingnya banyak, kolik abdomen dapat ditemukan. Hal yang aneh  pada Toxocariasis, nyeri abdominal umumnya dapat ditemukan, padahal stadium dewasanya dari parasit ini tidak ditemukan dalam usus manusia. Cacing pita jarang memberikan gejala klinis yang jelas, tapi riwayat dari pasien bahwa adanya segmen yang berbentuk seperti pita keluar bersama tinja atau ada yang bergerak di daerah perianal. Dibawah ini parasit-parasit yang dapat memberikan gejala diare pada penyakit yang ditimbulkannya. Diare dengan disertai gejala panas adalah sebagai berikut :
a)        Entamoeba histolytica
b)        Cryptosporidium

B.     Teknik Pemeriksaan Cacing Parasit
Sebelum melakukan pemeriksaan terlebih dahulu harus diketahui habitat dari parasit cacing atau bahan pemeriksaan yang akan diperiksa. Disini akan diuraikan pemeriksaan yang penting dari bahan pemeriksaan tinja dan darah yaitu pemeriksaan telur cacing dari tinja, pemeriksaan larva cacing, pemeriksaan cacing dewasa, penyimpanan, pengawetan telur dan cacing dewasa dalam tinja, preparat permanen, pembuatan larutan serta pemeriksaan darah tepi untuk mikrofilaria (Beaver, P.C., Yung. R.C., Cupp. E. W. 1984).
Pemeriksaan telur-telur cacing dari tinja terdiri dari dua macam cara pemeriksaan, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode natif, metode apung, dan metode harada mori. Sedangkan pemeriksaan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode kato. Berikut adalah prinsip kerja dari berbagai metode pemeriksaan parasit pada feses (Beaver, P.C., Yung. R.C., Cupp. E. W. 1984).

1.         Metode natif (Direct slide)
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya. Eosin memberikan latar belakang merah terhadap telur yang berwarna kekuning-kuningan dan untuk lebih jelas memisahkan feces dengan kotoran yang ada. Kekurangan dari metode ini adalah hanya dilakukan untuk infeksi berat, infeksi ringan sulit terditeksi. Kelebihann meotde ini adalah mudah dan cepat dalam pemeriksaan telur cacing semua spesies, biaya yang di perlukan sedikit, peralatan yang di gunakan sedikit (Soejoto dan Soebari, 1996).

2.         Metode Apung (Flotation method)
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori dari famili Taenidae, telur-telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil. Kekurangan dari metode ini adalah penggunaan feses banyak dan memerlukan waktu yang lama, perlu ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi. Kelebihan dari metode ini adalah dapat di gunakan untuk infeksi ringan dan berat, telur dapat terlihat jelas. Dalam praktikum pemeriksaan feses ini, metode apung yang kami gunakan sebagai acuan yang terdiri dari sentrifugasi dan disentrifugasi.
a)   Sentrifugasi
1)        100 ml NaCl jenuh (33%) dimasukan kedalam beker glass.
2)        10 gram feses sampel pertama diambil menggunakan lidi dan dimasukan kedalam larutan NaCl jenuh (33%) kemudian di aduk sehingga larut.
3)        Bila terdapat serat-serat selulosa di saring menggunakan penyaring teh.
4)        Hasil saringan dituangkan ke dalam tabung reaksi sampai pada permukaan tabung reaksi.
5)        Di sentrifugasi selama 10 menit.
6)        Permukaan sampel pada tabung reaksi di ambil dengan menggunakan jarum ose secara swab dan di oleskan pada objek glass, kemudian di tutup dengan menggunakan cover glass.
7)        Di amati di bawah mikroskop.

b)   Tanpa Sentrifugasi
1)        100 ml NaCl jenuh (33%) dimasukan kedalam beker glass.
2)        10 gram feses sampel kedua diambil menggunakan lidi dan dimasukan kedalam larutan NaCl jenuh (33%) kemudian di aduk sehingga larut.
3)        Bila terdapat serat-serat selulosa di saring menggunakan penyaring teh.
4)        Hasil saringan dituangkan ke dalam tabung reaksi sampai cembung pada permukaan tabung reaksi.
5)        Didiamkan selama 5-10 menit dan ditutup dengan cover glass dan segera angkat.
6)        Di letakkan di atas objek glass preparat dengan cairan berada di antara objek glass dan cover glass, kemudian di periksa di bawah mikroskop. Selanjutnya cara kerja tersebut di ulang pada sampel feses ketiga.
(Soejoto dan Soebari, 1996).
3.         Metode Harada Mori
Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma Duodenale, Necator Americanus, Srongyloides Stercolaris dan Trichostronngilus yang didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknin ini memungkinkan telur cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan didalam air yang terdapat pada ujung kantong plastik. Kekurangan dari metode ini adalah hanya dilakukan untuk identifikasi infeksi cacing tambang, waktu yang dibutuhkan lama dan memerlukan peralatan yang banyak. Kelebihan dari metode ini adalah lebih mudah dilakukan karena hanya untuk mengidentifikasi larva infektif mengingat bentuk larva jauh lebih besar dibandingkan dengan telur.
Bahan yang diperlukan adalah kantong plastic dengan ujung sempit dan tertutup, berukuran 17 x 3 cm, kertas saring dengan ujung runcing berukuran 15 x 2,5 cm, air bersih, api lilin, lidi, dan bahan pemeriksaan tinja.
Teknik pemeriksaan :
a)        Oleskan sejumla tinja pada bagian tengah kertas saring.
b)        Masukkan kertas saring yang sudah dioles tinja ke dalam kantong plastic dengan ujung runcing lebih dahulu sehingga ujung runcing kertas saring masuk ke bagian sempit kertas saring menjadi basah dan air akan tertampung.
c)        Kemudian disiram air ledeng sihingga cacing tertinggal dalam saringan.
d)       Hasil saringan ditampung dalam suatu bejana kaca yang melebar( petridish besar) dan dilarutkan dengan air.
e)        Pemeriksaan dilakukan dengan kaca pembesar (loupe) dan dilakukan pada dasar meja yang hitam warnanya.
f)         Perhitungan cara mudah dapat dilakukan dengan meberi garis- garis yang sejajar pada dasar bejana.
g)        Untuk mendeterminai cacing dilakukan di bawah mikroskop.
(Soejoto dan Soebari, 1996).
4.         Metode Kato
Teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear tecnique) atau disebut teknik Kato. Metode ini digunakan untuk menemukan adanya telur cacing parasit dan menghitung jumlah telur cacing yang terdapat pada feses. Pengganti kaca tutup seperti teknik digunakan sepotong “cellahane tape”. Teknik ini lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak tinja. Teknik ini dianjurkan untuk Pemeriksaan secara massal karena lebih sederhana dan murah. Morfologi telur cacing cukup jelas untuk membuat diagnosa. Pada metode ini diadakan penambahan melachite green untuk memberi latar belakang hijau. Anak-anak mengeluarkan tinja kurang lebih 100 gram/hari, dewasa mengeluarkan tinja kurang lebih 150 gram/hari. Jadi, misalnya dalam 1 gram feces mengandung 100 telur maka 150 gram tinja mengandung 150.000 telur. Kekurangan dari metode ini adalah bahan feses yang digunakan banyak. Kelebihan dari metode ini adalah dapat mengidentifikasi tingkat cacing pada penderita berdasar jumlah telur dan cacing, baik di kerjakan di lapangan, dapat digunakan untuk pemeriksaan tinja masal karena murah dan sederhana, cukup jelas untuk melihat morfologi sehingga dapat didiagnosis.
Perbandingan cacing jantan dan betina biasanya 1:2 sehingga kita dapat menghitung jumlah cacing dalam usus penderita tersebut. Beratnya penyakit cacing berdasarkan jumlah cacing dalam tubuh seseorang atau jumlah telur pada tiap gram tinja dari hasil pemeriksaan dengan metode Stoll dapat dilihat dari daftar di bawah ini.







 







Pemeriksaan telur cacing kuantitatif dengan metode Kato Katz. Alat dan bahan yang diperlukan yaitu gelas benda, selotip dengan tebal 40 mm, ukuran 3x3 cm, kawat kasa dengan ukuran lubang tertentu dipotng dengan ukuran 3x3 cm, karton yang tebal diberi lubang dengan volume tertentu sehingga tinja yang dicetak dengan karton tersebut dapat diketahui beratnya, lidi dan kertas minyak, larutan Malachitegreen yang terdiri dari : 100 ml gliserin ditambah 100 ml aquadest ditambah 1 ml Malachitegreen 3% (Soejoto dan Soebari, 1996).

C.    Teknik pemeriksaan protozoa
Teknik pemeriksaan protozoa parasitik ini dibahas beberapa pemeriksaan, yaitu (1) Metode pemeriksaan protozoa usus, terdiri atas pemeriksaan secara natif dan modifikasi metode Mertiolak-Iodine Formaldehide (MIF). (2) Metode pemeriksaan protozoa darah terdiri atas preparat atau sedian darah apus dengan pewarnaan Giesna dan preparat (tetes) darah tebal dengan pewarnaan Giesna . (3) Metode pemeriksaan protozoa cacing Trichomonas vaginalis. (4)  Cara pembuatan preparat permanen (fixsed preparation) untuk parasit darah, Trichomonas vaginalis, dan amoeba ,dengan pewarnaan menurut metode Heidenhein. (5) Pembuatan larutan-larutan  (Smyth, 1996).
Pemeriksaan protozoa usus secara natif. Kegunaannya untuk melakukan pemeriksaan secara cepat. Untuk tropozoit dari amoeba, dipergunakan larutan eosin 2% , sedangkan untuk inti dan untuk kista amoeba dengan laturan lugol ( 2% larutan Iodium+ 3% larutan Iodkali).
Cara kerja:
1.      Dengan sebuah lidi,kita ambil feses (tinja) sebesar biji kacang polong yang ditaruh diatas gelas objek yang bersih.
2.      Bubuhi larutan NaCl fisiologis atau larutan eosin 2% atau lugol diatasnya.
3.      Dengan lidi tadi kita ratakan dahulu sebelum diberi gelas penutup.
4.      Periksa dibawah gelas mikroscop
(Smyth, 1996).
Pemeriksaan protozoa secara modifikasi mertiola-formaldehid (MIF). Baik sekali dipakai untuk mendiaknosa secara klinis adanya Amuba dan Lamblia didalam tinja. Zat zat yang dipergunakan larutan dasar (1) 250 ml aquades, 20 ml Tincture of merthiolet (Thimerosal), 25 ml formaldehid dan 5 ml gliserin. Larutan dasar (2) larutan lugol 5 % yang segar ( tidak boleh dsimpan lama lebih dari 3 minggu). Kedua larutan tersebut disimpan dalam botol yang berwarna cokelat ( Natadisastra, 1996).
Cara kerja :
1.      5 ml larutan dasar ditambah dengan 5ml larutan lugol ,kemudian 0,5 gr tinja dimasukan ke dalamnya lalu diaduk. Setelah diaduk sampai homogen , disaring dengan 2 lapis kain gas ke dalam tabung sentrifuge.
2.      Ditambah dengan 7 ml eter ( temperatur  5 ̊C)
3.      Tabung tersebut ditutup rapat dengan sumbat karet dan dikocok keras-keras, sampai campuran benar-benar homogen. Sumbat di buka dan dbiarkan selama 2 menit. Kemudian di sentrifusi selama 1 menit dengan kecepatan 1500-3000 putaran permenit. Cairan semua dibuang dan endapan dibuang dengan pipet ,ditaruh diatas gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup. Hasilnya dapat dilihat dengan mikroskop. Pada endapan
4.      Preparat diberdirikan dan dibiarkan kering ,dijaga jangan kena debu atau dimakan insek dan lain-lain.
( Natadisastra, 1996).
Cara Pewarnaan :
1.      Sedian apus yang telah kering difiksir dngan metil alkohol selama 3-5 menit ( etil alkohol selama 10 menit) kemudian :
2.      Warnai dengan larutan standart giemsa  selama kurang lebih 45 menit ( 1 tetes larutan standart Giemsa+ 1 ml Akuades atau 1ml larutan Buffer). Mula-mula larutan Giemsa( standart) dituangkan kedalam gelas ukur ,kemudian baru ditambahkan dengan larutan Buffer  atau Akuades.
3.      Preparat dicuci dengan air ledeng/ air mengalir secara perlahan.
4.      Keringkan dan dijaga jangan sampai kena debu atau dimakan insek dan lain-lain
5.      Periksa dengan mikroscop ( perbesaran 100x)
( Natadisastra,1996).
Hasilnya dengan pH larutan Buffer/ akuades 7,2 kromatin terlihat merah tua terang, sitoplasma berwarna biru sampai biru violet.
Pemeriksaan protozoa darah, sediaan tetes darah tebal dengan pewarnaan Giemsa. Kegunaan,untuk pemeriksaan parasit protozoa yang hidup dalam darah secara cepat, karena volume darah yang diambil banyak sehingga kemungkinan mendapatkan diagnosis dari parasit lebih cepat, tertama pada organisme hidup yang bertindak sebagai carier atau pembawa penyakit misalnya plasmodium, babesia dan lain-lain. Prinsip pewarnaan Giemsa adalah mewarnai seluruh sel-sel darah dan sel-sel parasit dalam sel darah merah . untuk mempermudah identifikasi jenisjenis parasit darah berdasarkan morfologi menurut literature
(Solihat, Lilis. 2002)
Cara kerja :
1.      Metode pengambilan darah  sama dengan pembuatan sediaan darah apus .
2.      Setetes atau 2 tetes darah diteteskan pada sebuah gelas objek yang bersih.
3.      Tetes  darah dilebarkan hingga membentuk lingkaran dengan diameter 1-1,5 cm. Preparat harus cukup tipis sampai transparan
4.      Dibiarkan kering sama sekali,karena pada setetes yang tidak melekat pada gelas objek akan mudah terlepas pada pewarnaan berikutnya. Dijaga jangan sampai kena debu atau insek dan lain-lain.
(Barh,1991).
Pemeriksaan Trichomonas vaginalis.  Biasanya dengan sedian basah atau kadang-kadang diwarnai juga . Sampel terbaik didapat dengan melalui vaginal spikulum mempergunakan lidi yang berkapas. Lidi tersebut ditempatkan pada suatu tabung reaksi gelas yang berisi 5% glukosa dalam cairan garam physiologis sebelum penelitian. Organisme itu tampak membulat dan sedikit bergerak dibawah mikroscop . pemeriksaan dapat dari secret uretra pada wanita dapat memberikan hasil yang positif jika organisme-organisme tidak didapatkan dalam secret wanita tersebut. Pada laki-laki didiagnosis dilakukan dengan cara pemeriksaan secret uretra, secret prostat atau urine yang disentrifusi ( Natadisastra,1996)
Metode kultur dapat diperlukan, kadang-kadang akan menambah presentasi hasil yang positif. Cara pembuatan preparat permanen ( fixed preparation ) pada parasit darah. ( lihat pada pemeriksaan protozoa darah diatas, sesudah diwarnai kemudian diberi Canada Balsem dan ditutup dengan cover glass).
Cara pembuatan preparat permanen (fixed preparat) ,pada Trichomonas vaginalis.
1.      Fiksasi dari Trichomonas vaginalis langsung dalam kultur( pembenihan), 6 tetes OSO4 (2%) diberikan dalam 5ml medium selama 30 menit.
2.      Periksa dengan mikroscop apakah masih ada parasit. Trichomonas yang hidup , jika perlu penambahan dengan OSO4.
3.      Disentrifusi ( 3000 U, selama 5-10 menit)
4.      Cuci endapan dengan larutan Ringer 2-3 kali
5.      Resuspensi dari endapan terakhir dalam 1-1,5 ml larutan Ringerr, bubuhi 1-2 tetes serum darah.
6.      Ambil satu tetes diatas gelas objek , kemudian dibuat sedian apus yang tidak terlalu tipis dan biarkan mengalir.
7.      Fiksasi dengan metanol selama 5-10 menit
8.      Diwarnai dengan Giemsa selama 10-20 menit. ( perbandingan satu tetes larutan standart Giemsa dengan 2 ml larutan Buffer pH 7,2 )
9.      Cuci dengan cepat kemudian biarkan mengering
10.  Tutup dengan Canada balsem dan gelas penutup (cover glass)
 ( Natadisastra,1996).
Cara pembuatan preparat permanen (fixed preparation) pada amoeba dengan perawatan menurut metode Heidenhein.
1.      Sediaan apus diatas glass objek atau pada 3-4 gelas penutup ( cover glass), sementara masih basah difiksasi dengan sublimat alkohol selama 20 menit.
2.      Kemudian dalam larutan iodin alkohol ( 70% alkohol dan Tincture Iodin atau larutan lugol sampai berwarna seperti brandi) selama 30 menit.
3.      Dalam alkohol 70 % selama 1 menit.
4.      Cuci dengan air
5.      “ Mordenting” dalam larutan 4% amonium feric alum (kristal violet dilarutkan dengan Akuades )
6.      Cuci dengan air
7.      Diwarnai dengan Heidenhein’s haemotoxylin ( 1 gr, haemotoxylin dalam 10 ml 96% alkohol dan 90 ml akuades; Larutan ini harus “contact” dengan udara hingga masak selama sedikit-dikitnya 4 minggu)
8.      Cuci dengan air
9.      Diberikan preparat dengan jalan mencuci dalam larutan 2% amonium ferric alum 1 sampai 4 menit
10.  Cuci dengan air ledeng sedikit-dikitnya ½ jam.
11.  Setelah memulai suatu seri dari alkohol, xylol kemudian preparat  “ dimounting” dengan canada balsem dan gelas penutup
( Natadisastra,1996).
Diagnosa untuk protozoa Plasmodium vivax yang dapat menyebabkan penyakit malaria sebagian besar menggunakan asas imunokromatografi yang menggunakan antibodi monoklonal yaitu HRP-2 (Histidine Rich Protein) untuk Plasmodium falciparum dan pLDH (parasite Lactate Dehydrogenase) untuk mengetahui Plasmodium vivax sebagai indikator infeksi. Metode imunokromatografi yang digunakan berdasarkan asas pemeriksaan imunologis. Pemeriksaan   metode imunokromatografi dilakukan di Laboratorium Hepatika. Darah memakai sampel dari tabung mikro (micro tube) yang berisi EDTA yang diambil 10 sampai 15 μl menggunakan mikropipet


 









dan diletakkan dalam lubang perangkat peralatan (kit), hasil akan terlihat sekitar 10 sampai 15 menit kemudian dalam bentuk garis berwarna merah muda. Garis yang paling atas (garis pertama) merupakan garis kendali (kontrol). Garis dibawahnya (garis kedua) merupakan garis uji untuk Plasmodium vivax. Garis yang terbawah (garis ketiga) adalah garis uji untuk Plasmodium falciparum. Bila hasil uji untuk Plasmodium falciparum positif, maka garis kendali (kontrol) dan garis uji terbawah akan berwarna merah muda, sedangkan garis tengah tidak terlihat. Bila untuk Plasmodium vivax positif, maka garis kendali (kontrol) dan garis uji kedua saja yang terlihat (Gambar 1). Perangkat peralatan (kit), imunokromatografi laboratorium Hepatitis NTB menggunakan anti HRP-2 untuk mengetahui antigen HRP-2 yang terdapat di Plasmodium falciparum dan anti pLDH untuk mengetahui antigen pLDH yang terdapat di Plasmodium vivax, dengan zat kromogen klorida emas (gold chloride) yang memberikan warna merah muda. Hasil penelitian dijabarkan dalam tabel tabulasi silang dengan perangkat lunak SPSS 11.0 antara hasil pemeriksaan mikroskopis malaria dengan metode imunokromatografi. Penghitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan negatif dilakukan secara manual (Arum. L Ima, dkk. 2006).




























DAFTAR PUSTAKA

Arum. L Ima, dkk. 2006. Uji diagnostik plasmodium malaria menggunakan metode Imunokromatografi diperbandingkan dengan pemeriksaan Mikroskop. UNRAM. NTB

Barh M. And Bell D.R,1991. Manson’s Tropical diseases, 9th Edition. London : Bailliere Tindal
Beaver, P.C., Yung. R.C., Cupp. E. W. 1984. Clinical Parasitology. 9 Edition. Philadelpia: Lea & Febiger
Natadisastra D, dkk 1996, Penuntun Praktikum ilmu parasit (protozologi) untuk Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. FK. Unpad: Bagian Parasitologi
Neva F. A and Brown H. W. 1994. Basic Clinical Parasitology, 6th Edition. Connecticur. Appleton and Lange
Smyht. J. D. 1996. Anima Parasitology 3rd Edition. Cambridge University Press.
Solihat, Lilis. 2002. Proses pemeriksaan sampel penvakitpenyakit Parasit darah di laboratorium Parasitologi balitvet. Balai Penelitian Veteriner. Bogor

0 comments:

Post a Comment